Jumat, 19 Desember 2008

Artikel Pelajaran Sosiologi

Beberapa minggu terakhir ramai diwartakan tentang penambahan mata pelajaran untuk ujian nasional (UN) tahun pelajaran 2007/2008 menjadi 6 mata pelajaran. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menyiapkan UN untuk sekolah dasar. Pro dan kontra pun bermunculan dimasyarakat.

Untuk penambahan mata pelajaran dalam UN terutama sosiologi menimbulkan penafsiran yang beragam. Seorang teman yang juga guru berucap bahwa memang selayaknya sosiologi dimasukkan dalam UN karena perkembangan zaman tidak terepas dari perhatian ilmu sosiologi. Namun banyak juga teman dari guru-guru yang justru merasa cemas dan terbebani dengan dimasukkannya sosiologi dalam UN.

Kecemasan ini cukup beralasan mengingat ini kali pertamanya sosiologi di UNkan sehingga muncul kecemasan akan banyak siswa yang tidak lulus. Terlebih ketidakadaan basic pendidikan sosiologi produk daerah ini. Semakin menambah kekhawatiran tersebut. Contohnya penulis sendiri yang lulusan pendidikan sejarah mengajar mata pelajaran sejarah dan sosiologi. Ada juga pengajar sosiologi yang berasal dari lulusan sarjana kehutanan. Itulah fakta dilapangan, sehingga menarik untuk disimak bagaimana kesiapan guru dan siswa serta sekolah dan orang tua menghadapi UN untuk sosiologi.

Optimalisasi MGMP

Rasa gundah sempat menghinggapi kepala ini namun semua sirna dengan kayakinan bahwa segala masalah ada jalan keluarnya. Bagi penulis, siap atau tidak yang jelas UN sudah didepan mata dan pemerintah sudah kukuh melaksanakan UN. Bukan saatnya lagi memperdebatkan penambahan 6 mata pelajaran, tetapi saatnya untuk menyongsong dengan optimis bahwa siswa kita akan lulus 100 %.

Salah satu jalan keluar yang dapat dioptimalkan dengan baik adalah musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Keberadaan MGMP dapat dipastikan ada ditiap daerah di Bumi Lambung Mangkurat ini, namun aktif dan tidaknya saja lagi. Sebelum dilaksanakan UN pada tahun 2004 silam, keberadaan MGMP diakui atau tidak diibaratkan ada dan tiada. Hidup segan mati tak mau. Maklum masalah klasik pendanaan menjadi sangat riskan. Kini seiring komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka MGMP pun mendapat perhatian dengan adanya blockgrant baik melalui pemerintah pusat via LMPM ataupun via Dinas Pendidikan Propinsi serta kabupaten/kota. Namun itu pun tidak mengakomodir seluruh mata pelajaran. Blockgrant hanya diberikan untuk pelajaran MIPA (biologi, matematika, fisika, dan kimia), bahasa (Inggris dan Indonesia), dan ekonomi. Sedangkan untuk IPS menggunakan dana swadaya.

Contoh sederhana yang kami lakukan dalam MGMP sosiologi di Kota Banjarbaru, walaupun menggunakan dana swadaya tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap komitmen malaksanakan MGMP.

Melalui MGMP inilah kami bertemu dan membicarakan berbagai hal yang terkait dengan pembelajaran sosiologi, mulai dari perangkat pembelajaran, model pembelajaran, sampai pada persiapan UN. Tidak hanya itu MGMP juga menjadi media komunikasi guru untuk saling berbagai pengalaman dan cerita mengenai permasalahan siswa dan cara mengatasinya. Khusus bagi persiapan UN kami jauh-jauh hari sudah mengumpulkan bahan-bahan yang diperkirakan akan muncul dalam UN. Halnya menjadi lebih mudah dengan adanya Usulan Standar Kompetensi Lulusan sehingga menjadi lebih fokus. Namun kami rasa hal tersebut belumlah cukup. Untuk menganalisis soal UN kami pun harus rela mencari berbagai bahan dari berbagai sumber. Salah satunya melalui internet, alhasil kamipun harus sabar menunggu loading guna mendapatkan bahan pengajaran dan soal-soal yang diprediksi keluar saat UN. Setelah itu, soalnya kami analisis dan kembangkan bersama.

Bersama dalam MGMP memberikan semangat dan motivasi tersendiri yang membuat kami begitu yakin bahwa anak didik nantinya mampu menjawab soal UN dengan baik dan benar. Semoga.

Optimalisasi Bimbingan Belajar Di Sekolah

Satu hal yang juga jangan dilupakan dalam menghadapi UN nantinya adalah optimalisasi bimbingan belajar di sekolah. Kecemasan orang tua akan anaknya tidak tuntas dalam UN membuat mereka memberikan bimbingan belajar tambahan melalui lembaga pendidikan informal. Si anak diikutkan dalam program pimbingan belajar dengan harapan si anak lebih siap dan bisa tuntas dalam UN nanti.

Opsi demikian sah-sah saja, apalagi kondisi ekonomi yang memadai. Namun apakah hal itu satu-satunya jalan keluar ? sepertinya tidak. Karena kini sekolah-sekolah juga lebih tanggap soal bimbingan belajar. Dalam sudut pandang penulis, guru lebih mengetahui perkembangan dan kemampuan anak, guru dalam kesehariannya berhubungan langsung dengan proses KBM sehingga dapat menganalisis soal-soal yang diprediksi keluar saat UN nanti. Sebagai pengajar, guru mempunyai intuisi yang baik dalam hal perkembangan dan kemampuan siswanya sehingga mampu memberikan bimbingan belajar yang tidak hanya melulu tentang pemahaman soal tetapi juga menjadi tempat siswa untuk sharring mengenai permasalahan diluar pelajaran sekolah. Pengawasan dan perhatian guru lebih optimal. Hal inilah yang tidak didapatkan siswa diluar sekolah.

Yang juga menarik untuk diperhatikan bahwa bimbingan belajar di sekolah biayanya lebih murah ketimbang di luar sekolah. Itulah yang penulis maksudkan dengan kondisi ekonomi yang memadai. Bagi keluarga yang mampu tidak menjadi persoalan, tetapi bagi yang tidak mampu lain lagi ceritanya. Jangan hanya mencari gengsi tapi melupakan manfaat yang diperoleh siswa. Sudah saatnya melihat bimbingan belajar disekolah secara objektif. Namun bukan berarti dengan biaya yang murah hasilnya kurang bagus, bahkan sebaliknya dengan biaya yang mahal apakah hasilnya juga bagus. Memang selama ini tidak ada penelitian yang menunjukkan korelasi lurus antara tingginya biaya bimbingan belajar dengan keberhasilan siswa dalam UN.

Di sekolah mata pelajaran sosiologi mendapat perhatian sama dengan mata pelajaran lain yang di UNkan. Sehingga bimbingan belajar memang menjadi salah satu prioritas untuk mempersiapkan siswa menghadapi UN nantinya. Selama bimbingan belajar siswa mengisi daftar hadir yang tiap sebulan sekali direkapitulasi untuk dilaporkan kepada orang tua sehingga dapat diketahui kehadiran siswa selama bimbingan belajar. Hal ini penting untuk pengawasan orang tua kepada si anak sekaligus bentuk pertanggung jawaban guru yang bersangkutan dalam memberikan bimbingan belajar.

Dengan optimalisasi MGMP dan bimbingan belajar kiranya penulis yakin tidak ada masalah untuk sosiologi dalam UN. Tinggal faktor non teknis yang patut diperhatikan, misalnya keluarga, kesehatan, dan bencana alam. Sebagai tahun pertama dalam UN, sosiologi memberikan warna baru dalam UN. Dampak positif yang ditumbulkannya juga sangat besar, kini para siswa tiidak bisa lagi menganggap pelajaran yang termasuk rumpun IPS dengan sebelah mata karena faktanya sosiologi dan geografi kini masuk dalam UN. Apalagi jika benar semua mata pelajaran akan di UN kan maka tidak ada kata yang tidak penting.

Paradigma IPA lebih penting dari IPS harus dihilangkan karena laksana sayur tampa garam maka kurang sedap jika hanya IPA yang dipelajari ataupun sebaliknya IPS yang diutamakan karena pada dasar ilmunya semua saling berhubungan dan mendukung satu dengan lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar